a. Kasus Marsinah
Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan
pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada
tanggal 3-4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di
PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya
PHK yang menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei
1993 Marsinah ‘menghilang’, dan akhirnya pada
9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi
yang mengenaskan di hutan Wilangan Nganjuk.
b. Kasus Trisakti dan Semanggi
Kasus Trisakti dan Semanggi, terkait dengan
gerakan reformasi. Arah gerakan reformasi adalah
untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi
dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis
ekonomi terjadi berkepanjangan karena fondasi ekonomi
yang lemah dan pengelolaan pemerintahan yang
tidak bersih dari KKN
(Korupsi Kolusi dan
Nepotisme). Gerakan
reformasi yang dipelopori
mahasiswa
menuntut perubahan
dari pemerintahan yang
otoriter menjadi pemerintahan
yang demokratis,
mensejahterakan
rakyat dan bebas dari
KKN.
Demonstrasi merupakan senjata mahasiswa
untuk menekan tuntutan perubahan ketika dialog
mengalami jalan buntuk atau tidak efektif. Ketika
demonstrasi inilah berbagai hal yang tidak dinginkan
dapat terjadi. Karena sebagai gerakan massa tidak
mudah melakukan kontrol. Bentrok fi sik dengan aparat
kemanan, pengrusakan, penembakan dengan peluru
karet maupun tajam inilah yang mewarai kasus Trisakti
dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998
yang menewaskan 4 (empat) mahasiswa Universitas
Trisakti yang terkena peluru tajam. Kasus Trisakti
sudah ada pengadilan militer. Tragedi Semanggi I terjadi
13 November 1998 yang menewaskan setidaknya 5
(lima) mahasiswa, sedangkan tragedi Semanggi II pada
24 September 1999, menewaskan 5 (lima) orang.
Dengan jatuhnya korban pada kasus Trisakti,
emosi masyarakat meledak. Selama dua hari berikutnya
13 – 14 Mei terjadilah kerusuhan dengan membumi
hanguskan sebagaian Ibu Kota Jakarta. Kemudian
berkembang meluas menjadi penjarahan dan aksi
SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Akibat
kerusuhan tersebut, Komnas HAM mencatat :
1) 40 pusat perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 1.119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) yang lebih mengenaskan 1.188 orang meninggal
dunia. Mereka kebanyakan mati di pusat – pusat
perbelanjaan ketika sedang membalas dendam atas
kemiskinan yang selama ini menindih (GATRA, 9
Januari 1999).
Dengan korban yang sangat besar dan
mengenaskan di atas, itulah harga yang harus dibayar
bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Seharusnya
hal itu masih dapat dihindari apabila semua anak
bangsa ini berpegang teguh pada nilai – nilai luhur
Pancasila sebagai acuan dalam memecahkan
berbagai persoalan dan mengelola negara tercinta ini.
Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat disatu sisi sebagai
Tahun Reformasi dan pada sisi lain sebagai Tragedi
Nasional.
c. Kasus Bom Bali
Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris
di Legian Kuta Bali 12 November 2002, yang memakan
korban meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang
luka-luka, semakin menambah kepedihan kita. Apa
lagi yang menjadi korban tidak hanya dari Indonesia,
bahkan kebanyakan dari turis manca negara yang
datang sebagai tamu di negara kita yang mestinya
harus dihormati dan dijamin keamanannya.